ME

♥ Fitria.S.Dhanie ♥ | I ♥ Allah | I ♥ My Parents | I ♥ My Brother | I ♥ Troublle_Error | I ♥ Firademand | I ♥ My Inspiration | I ♥ My Best Friends ♥

Rabu, 28 September 2011

Bagaimana Rasanya Mengalami Gangguan Jiwa ?





Kebanyakan orang menganggap rendah orang yang mengalami gangguan jiwa, apapun bentuknya. Entah itu depresi, bipolar, skizofrenia, gangguan panik dan cemas, dll. Mereka bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana rasanya. Mereka mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi semakin mereka mencari, mereka semakin bingung karena mereka tidak pernah merasakannya. Pada akhirnya, mereka membandingkan penderita gangguan jiwa dengan diri mereka yang normal. Menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak kuat ditimpa masalah, tidak berpegang pada agama, rapuh, dan stigma-stigma negatif lainnya.

Benarkah stigma itu ?

Melalui tulisan ini, aku mencoba menjelaskan bagaimana rasanya mengalami gangguan jiwa. Semoga pembaca dapat mengerti bagaimana perasaan kami para penderita gangguan jiwa dan merubah stigma negatif menjadi stigma positif.

Ada yang mengatakan rasanya mengalami gangguan jiwa itu bagaikan anda merasakan sakit kepala yang sangat menyiksa. Sakit yang tidak tertahankan lagi. Sejauh ini, anda sudah menderita bukan ? Tapi, itu bukanlah bagian terburuk. Yang lebih membuat menderita, anda tidak tahu mengapa kepala anda bisa sakit. Semakin anda mencoba mencari tahu, semakin sakit kepala anda. Semakin menderita anda. Pada akhirnya anda akan menyerah atau anda menerima rasa sakit itu menjadi bagian diri anda sambil mencoba mencari obatnya.

Pada dasarnya, bukan keinginan kami untuk menjadi penderita gangguan jiwa. Tak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya menjadi gila. Bukankah begitu ? Begitu pula dengan kami. Awalnya kami adalah orang normal layaknya manusia pada umumnya. Beberapa dari kami memang memiliki kepribadian yang sedikit menyimpang. Tapi, kepribadian itu terbentuk dari hal yang kompleks.

Gangguan jiwa dapat terjadi karena adanya faktor organobiologik, faktor psikososial, dan faktor budaya. Faktor organobiologik berkaitan dengan bawaan genetik seseorang, penyakit, atau kondisi-kondisi tertentu seperti kekurangan oksigen saat lahir ( hipoksia ). Hal tersebut membuat seseorang lebih rentan mengalami gangguan jiwa.

Jika seseorang yang sudah rentan tersebut mengalami masalah dan tekanan hidup, maka kecenderungannya mengalami gangguan jiwa bertambah besar. Itulah faktor psikososial. Apalagi, jika ia hidup di lingkungan yang memiliki budaya tertentu. Dengan adanya tuntutan dari budaya di tempat ia dibesarkan, kemungkinannya mengalami gangguan jiwa semakin besar.

Lantas, apakah seseorang yang mengalami gangguan jiwa itu mempunyai masalah hidup yang begitu beratnya sampai merasa sangat tertekan ? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Kita tidak tahu apa masalah yang sedang dialami seseorang. Tapi kadang kita dengan mudahnya menilai kalau masalahnya tidak seberapa. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja masalah itu disembunyikan atau dibuat seolah-olah ringan karena malu dan bingung.

Bagaimana jika masalahnya memang tidak seberapa ? Apakah kami begitu rapuhnya sampai tidak bisa mengatasi masalah kecil ? Tentu tidak. Kemampuan orang menyelesaikan masalah dipengaruhi oleh kepribadian orang itu juga. Sedangkan kepribadian itu sendiri, terbentuk dari hal yang kompleks. Peristiwa-peristiwa yang dilalui sejak lahir, didikan orang tua, serta lingkungan sekitar membentuk kepribadian seseorang. Jadi, kepribadian yang terbuka, tertutup, mudah beradaptasi, supel, pemalu, pemarah, tenang, dll tidak terbentuk begitu saja. Ada penjelasan bagaimana terbentuknya yang tersimpan dalam alam tidak sadar kita.

Jadi, benar kan bahwa bukan keinginan kami untuk menjadi penderita gangguan jiwa ? Dan bukan kami pula yang sepenuhnya bersalah sehingga membuat jiwa kami terganggu ?

Bagaimana hubungannya dengan agama ? Menurutku, Tuhan menciptakan manusia untuk diuji melalui cobaan. Mungkin, gangguan jiwa adalah salah satu cobaan dari Tuhan. Agama memang dapat membantu seseorang dalam proses penyembuhan gangguan jiwa. Tapi keimanan bukanlah faktor yang menyebabkan gangguan jiwa.

Sekarang, bagaimana yang kami rasa ?

Aku sendiri mengalami gangguan jiwa berupa depresi yang berlanjut menjadi gangguan bipolar. Pada saat aku merasa depresi, aku berusaha keras untuk mencoba menyelesaikan masalahku. Tapi masalah itu tak juga selesai. Sehingga aku mulai merasa lelah, sedih, hilang minat terhadap hal yang menyenangkan, susah tidur, tidak bertenaga, mengurung diri, dan gejala depresi lainnya. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa merasakan gejala-gejala itu.

Disaat teman mengajakku untuk melakukan hal yang menyenangkan, aku menolaknya. Lalu mereka menasehati aku. Mereka bilang aku harus bisa melawan ‘mood buruk’ itu dan melakukan hal yang menyenangkan. Faktanya, yang kurasa saat mereka menasehati, ada bagian kecil dalam diriku yang berkata bahwa sebenarnya aku juga ingin melakukan hal itu. Tapi aku tidak ingin. Aku tidak tertarik lagi. Aku tidak tahu mengapa, pokoknya aku tidak mau saja.

Lalu aku merasa menjadi tidak berguna, bersalah, dan tidak punya harapan. Rasa itu muncul begitu saja. Seperti jika anda terperosok kedalam lubang yang dalam, awalnya anda hanya merasa takut dan sedih. Tetapi semakin jauh anda terperosok dan tidak tahu seberapa dalam lubang itu, anda pasti berpikir bahwa harapan anda akan semakin tipis karena tak ada orang diatas sana yang akan menolong. Lalu anda bisa saja berpikir lebih baik anda langsung mati saja daripada harus merasa ketakutan saat terperosok dan pada akhirnya mati juga. Sialnya, kebanyakan orang yang berada diatas sana tidak menyadari atau tidak melihat anda terperosok. Jika melihat pun, ada yang membiarkan saja anda terperosok semakin dalam. Tapi jika anda beruntung, ada yang ingin membantu anda dengan mengulurkan tali.

Kira-kira seperti itu yang kualami saat aku depresi. Untungnya aku memiliki keluarga dan teman-teman yang bersedia mengulurkan tali saat diriku terperosok sehingga perlahan aku bisa naik keatas dan keluar dari lubang yang dalam itu.

Anda tidak mungkin merasa bahagia saat anda terperosok lubang bukan ? Tanpa anda sadari anda pasti berpikir bahwa anda akan mati atau paling tidak mencapai dasar dengan luka parah. Begitu pula dengan kami yang mengalami depresi. Kami tidak bisa berpikir positif atau menikmati hidup kami. Karena ya itulah yang terjadi. Kami pun tidak tahu mengapa. Mungkin memori-memori masa lalu yang tersimpan dalam alam tidak sadar kami yang membuat kami merasa seperti itu.

Setelah akhirnya aku bangkit dari depresi, aku merasa dunia ini begitu indah. Rasanya aku bisa melakukan apa saja dan masa depanku cerah. Aku merasa sangat berenergi dan penuh semangat. Aku memiliki banyak ide baru dan ingin mencoba banyak hal. Semakin lama aku semakin bertenaga sampai pada puncaknya, aku tidak tahu lagi harus menyalurkan tenagaku ini dengan melakukan hal apa sehingga aku kesal sendiri dan mulai merusak barang serta melukai diri sendiri. Lalu aku merasa sedih dengan diriku dan tiba-tiba ingat masa-masa depresiku.



Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa bisa begitu dan kenapa aku tidak berusaha mengontrolnya. Jawabannya karena aku sendiri tidak tahu dan tidak bisa. Disaat seperti itu, aku benar-benar bukan diriku. Rasanya seperti ada orang lain yang mengontrol diri anda. Anda sadar ini bukanlah diri anda yang sebenarnya, tapi anda tidak bisa melakukan apa-apa karena ‘orang lain’ di dalam diri anda semakin berkuasa atas tubuh anda. Kira-kira seperti itu yang kurasa. Kelihatannya mudah untuk mengontrol mood dan menahan diri jika anda berpikir dari sisi normal anda. Tapi bagi kami yang memiliki gangguan jiwa, hal itu sangatlah berat.

Kami pun ingin bisa normal seperti orang lain. Tapi karena rangkaian peristiwa itu, zat kimia dan hormon di dalam tubuh kami terlanjur kacau. Sehingga butuh proses panjang untuk mengembalikannya menjadi normal. Kami meminum obat untuk membantu proses itu, dan berkonsultasi pada psikolog / psikiater untuk menghilangkan hal-hal buruk yang tersimpan di dalam alam tidak sadar kami sehingga saat kami berhadapan dengan masalah, kami bisa mengatasinya layaknya orang normal.

Kami butuh dukungan dan pengertian dari anda semua. Kami juga ingin seperti kalian yang normal. Tapi kami butuh proses. Semoga kalian bisa memaklumi. Tak lupa, kami berterima kasih sekali kepada orang-orang yang sudah membantu kami melewati masa kelam dan membuat hidup kami lebih cerah.

Bagi mereka yang pernah memandang rendah atau meremehkan kami, semoga pikiran anda lebih terbuka. Bersyukurlah anda bisa menjalani hidup anda dengan normal dan bisa mengendalikan diri anda sepenuhnya. Kita manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Tuhan bisa saja memberi anda masalah, cobaan, kebahagiaan, rezeki, dan ‘kejutan’ lainnya. Semoga Tuhan selalu memberikan rahmat-Nya pada anda.